SRI mengembangkan praktek
pengelolaan padi yang memperhatikan kondisi pertumbuhan tanaman yang lebih
baik, terutama di zona perakaran, dibandingkan dengan teknik budidaya cara
tradisional. SRI dikembangkan di Madagaskar
awal tahun 1980 oleh Henri de Lauline, seorang pastor Jesuit yang lebih dari 30
tahun hidup bersama petani-petani di sana.
Tahun 1990 dibentuk Association Tefy Saina (ATS), sebuah LSM Malagasy
untuk memperkenalkan SRI. Empat tahun kemudian, Cornell International
Institution for Food, Agriculture and Development (CIIFAD), mulai bekerja sama
dengan Tefy Saina untuk memperkenalkan SRI di sekitar Ranomafana National Park
di Madagaskar Timur, didukung oleh US Agency for International Development. SRI
telah diuji di Cina, India, Indonesia, Filipina, Sri Langka dan Bangladesh
dengan hasil yang positif.
Hasil metode SRI sangat memuaskan (lihat Tabel 1). Di Madagaskar, pada beberapa tanah tak subur
yang produksi normalnya 2 ton/ha, petani yang menggunakan SRI memperoleh hasil
panen lebih dari 8 ton/ha, beberapa petani memperoleh 10 – 15 ton/ha, bahkan
ada yang mencapai 20 ton/ha. Sedangkan,
di daerah lain selama 5 tahun, ratusan petani memanen 8-9 ton/ha. Metode SRI minimal menghasilkan panen dua
kali lipat dibandingkan metode varietas padi lain yang pernah ditanam. Petani tidak harus menggunakan input luar
untuk memperoleh manfaat SRI. Metode
ini juga bisa diterapkan untuk berbagai varietas yang biasa dipakai petani.
Hanya saja, diperlukan pikiran yang terbuka untuk menerima metode baru dan
kemauan untuk bereksperimen. Dalam SRI, tanaman diperlakukan sebagai organisme
hidup sebagaimana mestinya, bukan diperlakukan seperti mesin yang dapat
dimanipulasi. Semua unsur potensi dalam
tanaman padi dikembangkan dengan cara memberikan kondisi yang sesuai dengan
pertumbuhan mereka.
Mulanya,
praktek penerapan SRI tampak “melawan arus”.
SRI menentang asumsi dan praktek yang selama ratusan bahkan ribuan tahun
telah dilakukan. Kebanyakan petani padi
menanam bibit yang telah matang (umur 20-30 hari), dalam bentuk rumpun, secara
serentak, dengan penggenangan air di sawah seoptimal mungkin di sepanjang
musim. Mengapa? Praktek ini seolah-olah mengurangi resiko kegagalan bibit
mati. Masuk akal bahwa tanaman yang
lebih matang seharusnya mampu bertahan lebih baik; penanaman dalam bentuk rumpun
akan menjamin beberapa tanaman tetap hidup saat pindah tanam (transplanting);
dan penanaman dalam air yang menggenang menjamin kecukupan air dan gulma sulit
tumbuh.
Terlepas dari alasan di atas, para
petani yang menerapkan metode SRI belum menemukan resiko yang lebih besar
daripada metode tradisional. Empat penemuan kunci penerapan SRI adalah:
1. Bibit dipindah lapang (transplantasi) lebih awal
Bibit padi ditransplantasi saat dua daun telah muncul pada batang
muda, biasanya saat berumur 8-15 hari (Lihat Gambar 1). Benih harus disemai dalam petakan khusus
dengan menjaga tanah tetap lembab dan tidak tergenang air. Saat transplantasi dari petak semaian, perlu
kehati-hatian dan sebaiknya dengan memakai cethok, serta dijaga tetap lembab. Jangan bibit dibiarkan mengering. Sekam (sisa benih yang telah berkecambah)
biarkan tetap menempel dengan akar tunas, karena memberikan energi yang penting
bagi bibit muda. Bibit harus ditranplantasikan secepat mungkin setelah
dipindahkan dari persemaian ---sekitar ½ jam, bahkan lebih baik 15 menit. Saat menanam bibit di lapangan, benamkan
benih dalam posisi horisontal agar ujung-ujung akar tidak menghadap ke atas
(ini terjadi bila bibit ditanam vertikal ke dalam tanah). Ujung akar
membutuhkan keleluasaan untuk tumbuh ke bawah.
Tranplantasi saat bibit masih muda secara hati-hati dapat mengurangi
guncangan dan meningkatkan kemampuan tanaman dalam memproduksi batang dan akar
selama tahap pertumbuhan vegetatif.
Bulir padi dapat muncul pada malai (misalnya “kuping” bulir terbentuk di
atas cabang, yang dihasilkan oleh batang yang subur). Lebih banyak batang yang muncul dalam satu rumpun, dan dengan
metode SRI, lebih banyak bulir padi yang dihasilkan oleh malai.
2. Bibit ditanam satu-satu daripada secara berumpun
Bibit ditranplantasi satu-satu daripada secara berumpun, yang terdiri dari dua atau tiga tanaman. Ini
dimaksudkan agar tanaman memiliki ruang untuk menyebar dan memperdalam
perakaran. Sehingga tanaman tidak bersaing terlalu ketat untuk memperoleh ruang
tumbuh, cahaya, atau nutrisi dalam tanah.
Sistem perakaran menjadi sangat berbeda saat tanaman ditanam satu-satu,
dan ketika uraian berikut diikuti :
3. Jarak tanam yang lebar
Dibandingkan dengan baris yang sempit, bibit lebih baik ditanam
dalam pola luasan yang cukup lebar dari segala arah. Biasanya jarak minimalnya adalah 25 cm x 25 cm
Sebaiknya petani berani mencoba berbagai jarak tanam dalam berbagai
variasi, karena jarak tanam yang optimum (yang mampu menghasilkan rumpun subur
tertinggi per m2) tergantung kepada struktur, nutrisi, suhu, kelembaban dan
kondisi tanah yang lain. Pada prinsipnya tanaman harus mendapat ruang cukup
untuk tumbuh. Mungkin anda pernah juga menggunakan metode lain selain SRI,
namun jarang yang jarak tanam terbaiknya dibawah 20 cm x 20 cm. Hasil panen
maksimum diperoleh pada sawah subur dengan jarak tanam 50 x 50 cm, sehingga
hanya 4 tanaman per m2.
Untuk membuat jarak tanam yang tepat (untuk memudahkan pendangiran),
petani dapat meletakkan tongkat-tongkat dipinggir sawah, lalu diantaranya
diikatkan tali melintas sawah. Tali harus diberi tanda interval yang sama,
sehingga dapat menanam dalam pola segi empat. Dengan jarak tanam yang lebar
ini, memberi kemungkinan lebih besar kepada akar untuk tumbuh leluasa, tanaman
juga akan menyerap lebih banyak sinar matahari, udara dan nutrisi. Hasilnya
akar dan batang akan tumbuh lebih baik (juga penyerapan nutrisi). Pola segi empat juga memberi kemudahan untuk
pendangiran (lihat no. 6 di bawah).
Jika petani sudah lebih berpengalaman, mereka dapat menghemat waktu
dengan hanya menandai titik persilangan tali di petak sawah dengan lidi atau
alat lain. Dalam metode SRI kebutuhan benih jauh lebih sedikit dibandingkan
metode tradisional, salah satu evaluasi SRI menunjukkan bahwa kebutuhan benih
hanya 7 kg/ha, dibanding dengan metode tradisional yang mencapai 107
kg/ha. Belum lagi hasil panen yang
diperoleh berlipat ganda karena setiap tanaman memproduksi lebih banyak padi.
4. Kondisi tanah tetap lembab tapi tidak tergenang air
Secara tradisional penanaman padi biasanya selalu digenangi
air. Memang benar, bahwa padi mampu
bertahan dalam air yang tergenang. Namun, sebenarnya air yang menggenang
membuat sawah menjadi hypoxic (kekurangan oksigen) bagi akar dan tidak ideal
untuk pertumbuhan. Akar padi akan
mengalami penurunan bila sawah digenangi air, hingga mencapai ¾ total akar saat
tanaman mencapai masa berbunga. Saat
itu akar mengalami die back (akar hidup tapi bagian atas mati). Keadaan
ini disebut juga “senescence”, yang merupakan proses alami, tapi menunjukkan
tanaman sulit bernafas, sehingga menghambat fungsi dan pertumbuhan tanaman.
Dengan SRI, petani hanya memakai kurang dari ½ kebutuhan air pada
sistem tradisional yang biasa menggenangi tanaman padi. Tanah cukup dijaga tetap lembab selama tahap
vegetatif, untuk memungkinkan lebih banyak oksigen bagi pertumbuhan akar. Sesekali (mungkin seminggu sekali) tanah
harus dikeringkan sampai retak. Ini
dimaksudkan agar oksigen dari udara mampu masuk kedalam tanah dan mendorong
akar untuk “mencari” air. Sebaliknya,
jika sawah terus digenangi, akar akan sulit tumbuh dan menyebar, serta
kekurangan oksigen untuk dapat tumbuh dengan subur.
Kondisi tidak tergenang, yang dikombinasi dengan pendangiran
mekanis, akan menghasilkan lebih banyak udara masuk kedalam tanah dan akar
berkembang lebih besar sehingga dapat menyerap nutrisi lebih banyak. Pada sawah
yang tergenang air, di akar padi akan terbentuk kantung udara (aerenchyma)
yang berfungsi untuk menyalurkan oksigen.
Namun, karena kantung udara ini mengambil 30-40% korteks akar,
maka dapat berpotensi menghentikan penyaluran nutrisi dari akar keseluruh
bagian tanaman. Penggenangan dapat dilakukan
sebelum pendangiran untuk mempermudah pendangiran (lihat no. 5). Selain itu, penggenangan air paling baik
dilakukan pada sore hari (bila pada hari itu tidak hujan), sehingga air yang
berada di permukaan mulai mengering keesokan harinya. Perlakuan ini membuat sawah mampu untuk menyerap udara dan tetap
hangat sepanjang hari; sebaliknya sawah yang digenangi air justru akan
memantulkan kembali radiasi matahari yang berguna, dan hanya menyerap sedikit
panas yang diperlukan dalam pertumbuhan tanaman. Dengan SRI, kondisi tak tergenangi hanya dipertahankan selama
pertumbuhan vegetatif. Selanjutnya,
setelah pembungaan, sawah digenangi air 1-3 cm seperti yang diterapkan di
praktek tradisional. Petak sawah diairi
secara tuntas mulai 25 hari sebelum panen.
Sebagai tambahan untuk 4 prinsip ini, 2 praktek lain sangat penting
dalam metode SRI. Keduanya tidak berlawanan dan telah lama dikenal oleh petani
dalam bercocok tanam.
5. Pendangiran
Pendangiran (membersihkan gulma dan rumput) dapat dilakukan dengan
tangan atau alat sederhana (lihat gbr 3).
Para petani di Madagaskar beruntung setelah menggunakan alat pendangiran
yang dikembangkan International Rice Research Institute sejak tahun 1960-an,
yang mampu mengurangi tenaga kerja dan meningkatkan hasil panen. Alat ini mempunyai roda putar bergerigi yang
berfungsi untuk mengaduk tanah saat ditekan ke bawah dan tidak merusak tanaman
karena ada jarak diantara roda.
Pendangiran ini membutuhkan banyak tenaga ---bisa mencapai 25 hari kerja
untuk 1 ha--- tapi hal ini tidak sia-sia karena hasil panen yang diperoleh
sangat tinggi.
Pendangiran pertama dilakukan 10 atau 12 hari setelah tranplantasi,
dan pendangiran kedua setelah 14 hari. Minimal disarankan 2-3 kali pendangiran,
namun jika ditambah sekali atau dua kali lagi akan mampu meningkatkan hasil
hingga satu atau dua ton per ha. Yang lebih penting dari praktek ini bukan
sekedar untuk membersihkan gulma, tetapi pengadukan tanah ini dapat memperbaiki
struktur dan meningkatkan aerasi tanah.
6. Asupan Organik
Awalnya SRI dikembangkan dengan menggunakan pupuk kimia untuk
meningkatkan hasil panen pada tanah-tanah tandus di Madagaskar. Tetapi saat subsidi pupuk dicabut pada akhir
tahun 1980-an, petani disaarankan untuk menggunakan kompos, dan ternyata
hasilnya lebih bagus. Kompos dapat
dibuat dari macam-macam sisa tanaman (seperti jerami, serasah tanaman, dan
bahan dari tanaman lainnya), dengan tambahan pupuk kandang bila ada. Daun pisang bisa menambah unsur potasium,
daun-daun taaman kacang-kacangan dapat menambah unsur N, dan tanaman lain
seperti Tithonia dan Afromomum angustifolium, memberikan
tamabahan unsur P. Kompos menambah
nutrisi tanah secara perlahan-lahan dan dapat memperbaiki struktur tanah. Di tanah yang miskin jika tidak di pupuk
kimia, secara otomatis perlu diberikan masukan nutrisi lain. Pedomannya: dengan
hasil panen yang tinggi, sesuatu perlu dikembalikan untuk menyuburkan tanah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar