I.
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Padi
(Oryza sativa L.) merupakan bahan
makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Kebutuhan masyarakat akan
beras dari tahun ke tahun semakin meningkat, hal ini disebabkan oleh jumlah
penduduk yang semakin bertambah. Peningkatan konsumsi terhadap beras ini tidak
diimbangi oleh angka peningkatan produksi beras dalam negeri, untuk mengatasi
masalah ini pemerintah menerapkan pembangunan pertanian berkelanjutan. Namun,
kebijakan pemerintah ini tidak berjalan sesuai dengan rencana. Tiap tahunnya
pemerintah masih harus mengimpor beras ratusan ribu ton dari luar negeri.
Dalam
rangka mencukupi kebutuhan pangan yang semakin besar, pemerintah Indonesia
mencanangkan beberapa program dibidang pertanian salah satunya adalah program itensifikasi
tanaman pangan. Melalui program ini
diharapkan produksi pangan meningkat dari luasan lahan yang sudah ada dan tentunya ditunjang dengan perbaikan teknik
budidaya, penggunaan varietas unggul, dan penggunaan benih bermutu.
Berdasarkan
kenyataan ini, maka usaha peningkatan produktivitas padi nasional menjadi
sangat kompleks dan upaya peningkatan produktivitas padi tetap perlu mendapat perioritas
yang tinggi dalam pembangunan pertanian Indonesia. Departemen Pertanian (1998)
menyatakan bahwa peluang peningkatan produktivitas padi masih memungkinkan
karena hingga saat ini rata-rata produktivitas yang dicapai di tingkat petani
masih di bawah potensi hasil. Adanya
kesenjangan hasil tersebut mengindikasikan bahwa penerapan teknologi di tingkat
petani masih belum optimal sesuai anjuran.
Kebiasaan petani menanam padi dengan sistem genangan
dan pemberian pupuk kimia secara terus-menerus dalam berbudidaya padi membuat
lahan kurang produktif lagi sehingga produktifitas padi masih rendah. Selama
ini petani menanam padi dengan cara menggenangi sawahnya selama fase vegetatif
dan pada fase generatif lahan sawah dikeringkan. Akibatnya anakan yang
dihasilkan tanaman padi sedikit, karena tanaman padi bernafas dalam keadaan
anaerob. Genangan air ini membuat
perakaran tanaman padi terganggu dan banyak akar tanaman yang membusuk sehingga
anakan produktif yang dihasilkanpun sedikit dan membuat hasil panen sedikit
pula.
Dalam
upaya peningkatan produktivitas padi ini maka perlu suatu teknologi yang tepat
guna, salah satu teknologinya yaitu penerapan SRI ( The Sistem of Rice Intensification) yang dalam
bahasa minangnya dipopulerkan dengan Padi Tanam Sabatang (PTS).
SRI
merupakan salah satu sistem budidaya tanaman padi
yang menekankan menajemen pengelolaan tanaman, tanah, dan air. Sistem SRI ini
dapat meningkatkan hasil panen padi sebesar 78% (Hasan dan Sato, 2007).
Pada penerapan metode SRI, selama fase vegetatif
tanaman padi lahan sawah dibiarkan dalam keadaan kering sehingga memungkinkan
akar tanaman bernafas secara aerob. Membaiknya perkembangan akar tanaman akan
membuat pertumbuhan tanaman secara keseluruhan meningkat, indikasinya adalah anakan produktif semakin banyak dan pada akhirnya hasil panen juga meningkat.
Metode SRI ini sudah
disosialisasikan dan dilakukan percobaan demplot uji coba pada tahun 2007 pada
kelopok tani Sawah Bandang Kenagarian Koto Tuo Kecamatan Harau. Pembinaan
masyarakat petani ini dilakukan dengan bentuk penyuluhan dan demplot budidaya
padi dengan metode SRI. Produksi padi
hasil dari demplot percobaan ini memberikan hasil produksi yang memuaskan yaitu
8 ton/ha jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sistem konvensional yaitu 4
ton/ha (Musdar, Deni, Nelson, Ismawardi,
Yun, dan Ukrita, 2007).
Musdar dkk (2007), menyebutkan
bahwa di awal penyuluhan ini hampir 92% petani memahami metode ini dan hampir
100% petani mau menerima dan melaksanakan budidaya padi sawah dengan metode
SRI. Namun pada kenyataan sekarang
banyak petani yang beralih kembali dari sistem metode SRI ke metode lama
konvensional walaupun petani sudah tahu metode ini dapat meningkatkan hasil
produksi.
Oleh karena pemasalahan di atas peneliti tertarik
untuk mengangkat judul Keberlanjutan dan Masalah yang Dihadapi Petani Dalam
Menerapkan Metode SRI (The System of Rice Intensification) untuk mengetahui masalah
apa saja yang menghambat petani dalam penerapan metode SRI ini dilapangan,
sehingga bisa menjadi bahan perbaikan dalam memasyarakatkan metode SRI.
1.2.Perumusan Masalah
Dari latar belakang diatas
maka peneliti bisa merumuskan masalah sebagai berikut:
a) Masalah apa saja yang
mempengaruhi petani sehingga petani sulit untuk menerapkaan metode SRI dan
enggan beralih dari sistem konvensional?
b) Apakah karena sulitnya berbudidaya tanaman padi dengan
metode SRI membuat petani tidak beralih dari pertanian konvensional?
c) Masalah apakah yang paling membuat petani tidak
melanjutkan
metode SRI dalam membudidayakan tanaman padi?.
1.3.Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini
adalah:
a. Mengetahui
masalah-masalah yang dialami masyarakat petani dalam menerapkan pola tanam SRI studi kasus di Kecamatan Harau Kabupaten Limapuluh
Kota.
b. Mengetahui
langkah-langkah yang akan dilakukan untuk perbaikan sistem SRI ini di
masyarakat.
1.4.Manfaat
Penelitian
a. Bagi petani
Diharapkan dengan adanya penelitian ini bisa
memberikan saran dan masukan terhadap perbaikan metode SRI dikalangan petani
dengan diketahuinya masalah yang ada di petani sebelumnya.
b.
Bagi penulis
Untuk menambah pengetahuan dan pengalaman penulis tentang
metode SRI.
c.
Bagi pemerintah
Sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan,
guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani dan untuk perbaikan dalam
mensosialisasikan metode SRI ini ke masyarakat.
1.5.Hipotesa
Dari uraian latar
belakang dan perumusan masalah diatas maka dapat diambil suatu hipotesa sebagai
berikut: Diduga ketidakberlanjutan SRI
disebabkan oleh banyaknya masalah dan kendala yang dihadapi petani dalam
penerapan sistem budidayanya.
II.
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1.
Tanaman
Padi
Padi
termasuk famili gramineae, subfamili oryzidae, dan genus Oryzae. Dari 20 spesies anggota
genus Oryzae yang sering
dibudidayakan adalah Oryza sativa L.
dan Oryza glaberina Steund. Oryza
sativa berbeda dengan Oryza glaberina
karena spesies ini memiliki cabang-cabang sekunder yang lebih panjang pada
malai daun ligula, namun kedua spesies tersebut berasal dari leluhur yang sama
yaitu Oryza parennis Moench yang
berasal dari Goudwanaland (Suparyono dan Setyono, 1993).
Padi merupakan tanaman semusim
semi-akuatik yang dalam pertumbuhannya cukup banyak memerlukan air. Tanaman padi berasal dari tiga daerah
yaitu China, India, dan Indonesia sehingga terdapat tiga ras dari padi yaitu
sinica (dikenal juga dengan nama japonica), indica dan javanica (Suiatna,
2010).
Lingkungan yang baik
sangat diperlukan bagi tanaman padi dalam usaha meningkatkan produktifitas
hasil. Lingkungan tersebut terdiri dari
lingkungan alami dan hasil buatan manusia. Lingkungan alami mencakup unsur iklim seperti:
cuaca, tanah, curah hujan, intensitas cahaya, dan angin, kelembaban dan
lingkungan biotik (Mugnisjah dan Setiawan, 2001).
Tanah yang baik untuk
pertumbuhan tanaman padi adalah tanah sawah yang kandungan fraksi pasir, debu
dan lempung dalam perbandingan tertentu dengan diperlukan air dalam jurnlah
yang cukup. Padi dapat tumbuh dengan
baik pada tanah yang ketebalan lapisan atasnya antara 18 -22 cm dengan pH
antara 4-7 (Dinas Pertanian dan Kehutanan Kab. Bantul, 2007).
2.2.
Metode
SRI
SRI
merupakan salah satu sistem budidaya tanaman padi yang menekankan menajemen
pengelolaan tanaman, tanah, dan air yang dapat digunakan sebagai salah satu
sistem budidaya untuk intensifikasi pertanian. Gagasan SRI pada mulanya dikembangkan
di Madagaskar awal tahun 1980 oleh Fr. Henri de Laulanie, S. J., seorang Pastor
Jesuit asal Prancis. Oleh penemunya, metodologi ini selanjutnya dalam bahasa
Prancis dinamakan Le Systme de Riziculture Intensive disingkat SRI dan dalam
bahasa Inggris dikenal dengan nama Sistem of Rice Intensification (Anugrah, Wardana dan Sumedi, 2008).
Penerapan
SRI berdasarkan atas lima komponen penting yaitu, penanaman bibit muda yaitu
6-12 hari setelah semai, bibit ditanam satu batang per lubang, jarak tanaman
yang lebar, kondisi tanah yang lembab dan rutin dilakukan penyiangan untuk
menghilangkan gulma serta meningkatkan aerasi tanah (Sutaryat, 2008).
Penggunaan bibit muda pada sistem SRI ini karena pada bibit
muda akar lebih mampu menyokong tanaman yang akan tumbuh dibandingkan dengan
bibit tua, hal ini menentukan dalam pertumbuhan tanaman selanjutnya (Suryanata,
2007). Penanaman satu batang per lubang
akan menurunkan kebutuhan benih serta kondisi tanah yang tidak tergenang dapat
meningkatkan aerasi dan efisiensi penggunaan air (Departemen Pertanian, 2009).
Menurut VECO Indonesia (2007), proses pengelolaan air
dan penyiangan dalam metode SRI dilakukan sebagai berikut.
- Ketika padi mencapai umur 1—8 hari sesudah tanam (HST), keadaan air di lahan adalah “macak-macak”.
- Sesudah padi mencapai umur 9—10 HST air kembali digenangkan dengan ketinggian 2-3 cm selama 1 malam saja. Ini dilakukan untuk memudahkan penyiangan tahap pertama.
- Setelah selesai disiangi, sawah kembali dikeringkan sampai padi mencapai umur 18 HST.
- Pada umur 19—20 HST sawah kembali digenangi untuk memudahkan penyiangan tahap kedua.
- Selanjutnya setelah padi berbunga, sawah diairi kembali setinggi 1—2 cm dan kondisi ini dipertahankan sampai padi “masak susu” (± 15—20 hari sebelum panen).
Melalui
percobaan di beberapa Negara yaitu Madagaskar, Cina, Indonesia, Bangladesh, Sri
Lanka, Gambia, dan Kuba diketahui produktivitas padi SRI sebesar 5.4-15 ton/ha
dan non SRI 3.12-5 ton/ha, terjadi peningkatan produktivitas padi antara
30-219% (Suryanata, 2007).
Di
Indonesia sendiri, metode SRI mulai dikembangkan melalui pengujian dan evaluasi
di Balai Penelitian Padi Sukamandi, Jawa Barat. Pengujian dilakukan pada dua
musim tanam yaitu pada musim kemarau 1999 dengan hasil 6.2 ton/ha dan pada
musim hujan 1999/2000 menghasilkan padi 8.2 ton/ha (Hasan dan Sato, 2007). SRI
juga sudah diuji coba dan diterapkan di beberapa wilayah di Indonesia, pada
wilayah Indonesia bagian timur SRI dapat meningkatkan produksi padi sebesar
78%, penurunan penggunaan benih sebesar 80%, penghematan penggunaan air sebesar
40% serta menurunkan biaya produksi sebesar 20% (Hasan dan Sato, 2007).
Seperti
metode lainnya, SRI juga memiliki keunggulan dan tantangan. Keunggulan SRI
antara lain (Uphoff dan Fernandes, 2003):
a. Dapat
meningkatkan produksi padi sampai 50% bahkan ada yang lebih.
b. Pengurangan
dalam pemakaian :
Ø Benih
80-90%.
Ø Kebutuhan
air 25-50%.
c. Semua
varietas benih dapat digunakan.
d. Biaya
produksi turun 10-25%.
e. Pendapatan
petani meningkat.
Tantangan dalam penerapan metode SRI antara lain :
a. Pengaturan
air sangat diperlukan untuk mendapatkan hasil yang terbaik.
b. Kebutuhan
akan tenaga kerja yang meningkat.
c. Pelatihan
dan pembelajaran untuk petani (motivasi dan keahlian).
Sistem tanam pada metode SRI pada prakteknya berbeda
dengan sistem konvensional, perbedaan ini dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Perbedaan Metode SRI dengan sistim konvensional
No
|
Komponen
|
Konvensional
|
Metode SRI
|
1
|
Kebutuhan benih
|
30-40 kg/ha
|
5-7 kg kg/ha
|
2
|
Pengujian benih
|
Tidak dilakukan
|
Dilakukan pengujian
|
3
|
Umur dipersemaian
|
20-30 HSS
|
7-10 HSS
|
4
|
Pengolahan tanah
|
2-3 kali (struktur lumpur)
|
3 kali (struktur lumpur dan rata)
|
5
|
Jumlah tanaman per lobang
|
Rata-rata 5 batang
|
1 batang
|
6
|
Posisi akar waktu tanam
|
Tidak beraturan
|
Horizontal (L)
|
7
|
Pengairan
|
Terus digenangi
|
Disesuaikan dengan kebutuhan
|
8
|
Pemupukan
|
Pupuk kimia
|
Pupuk organik
|
9
|
Penyiangan
|
Diarahkan pada pemberantasan gulma
|
Diarahkan pada pengelolaan perakaran
|
10
|
Rendemen
|
50-60%
|
60-70%
|
(Sumber: Mutakin, 2008)
Selain perbedaan di
atas, menurut Agustamar (2011) metode SRI mempunyai perbedaan mendasar dalam
penggunaannya dengan cara konvensional yaitu: (1) Persiapan bibit awalnya
dilakukan perendaman selama 24 jam dan diperam selama 2 malam, disemaikan pada
media tanah dicampur dengan pupuk kandang dengan perbandingan 1-1 dipersemaian,
dan dibiarkan bekecambah sehingga menjadi bibit muda pada umur 12 hari sehingga
siap untuk ditanam dilahan sawah,
(2) Pengairan selama periode pertumbuhan dan produksi
dimana kondisi air tidak menggenang, sejak penanaman sampai 5 hari setelah
tanam terlihat rekahan kecil maka dilanjutkan dengan pembasahan ulang pada sore
hari hingga lembab dan dikeringkan pula hingga terbentuk rekahan kecil pada 3
hari berikutnya. Periode ini berlangsung hingga masuknya masa pembungaan,
selama masa pembungaan hingga matang fisiologis tinggi air dipertahankan 3 cm.
(3) Penggunaan bahan organik sampai batas normal kadar bahan organik tanah
yaitu 3-5%. (4) Pengaturan jarak tanam yang lebar 30x30 cm dan penanamannya 1
bibit per lobang tanam.
2.3.Permasalahan
2.4.Kecamatan
Harau
Kecamatan
Harau terletak antara 0 derajat
36’08 “ Lintang Utara dan 100 derjat 39’03 “ Lintang Selatan. Luas
daratan mencapai 416.80 Km2 yang berarti 12,43 % dari daratan Kabupaten Limapuluh Kota yang luasnya
3.354,30 Km2 terdiri 11 Nagari dengan 43 jorong (Limapuluh Kota.com, 2012)
Topografi Kecamatan Harau bervariasi
antara datar, bergelombang,dan berbukit-bukit, dengan ketinggian dari permukaan
laut terendah (498 m dpl)
terletak
di jorong Subarang Kenagarian Taram dan
yang tertinggi adalah Bukit Kumayan yang terletak di Jorong Ulu Air Kenagarian
Harau yaitu 1525 m dpl (Limapuluh Kota.com,
2012)
Daratan Kecamatan Harau dialiri oleh 6 sungai besar dan kecil yaitu sungai Sinamar, Harau,
Sinipan, Salimpauang, Campo, dan Mungo,
yang telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk pengairan sawah, kolam,
keramba (Limapuluh
Kota.com, 2012)
Kecamatan Harau merupakan Kecamatan yang hasil produksi padinya tertinggi
di Kabupaten Limapuluh Kota diikuti oleh Kecamatan Lareh Sago Halaban dan
Guguak. Untuk melihat produksi padi di
Kabupaten Limapuluh Kota berdasarkan Kecamatan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Luas panen, produksi, dan produktifitas padi
di Kabupaten Limapuluh Kota
No
|
Kecamatan
|
Luas Panen (ha)
|
Produksi (ton)
|
Produktifitas (ton/ha)
|
1
|
Payakumbuh
|
3.928
|
19.515,68
|
4,90
|
2
|
Akabiliru
|
3.409
|
16.306,67
|
4,78
|
3
|
Luak
|
3.278
|
14.978,12
|
4,57
|
4
|
Lareh Sago
Halaban
|
6.292
|
30.023,97
|
4,77
|
5
|
Situjuah Limo
Nagari
|
4.368
|
20.703,82
|
4,74
|
6
|
Harau
|
7.292
|
34.201,79
|
4,69
|
7
|
Guguak
|
5.430
|
25.470,15
|
4,69
|
8
|
Mungka
|
1.996
|
8.764,88
|
4,39
|
9
|
Suliki
|
2.591
|
12.943,83
|
5,00
|
10
|
Bukit Barisan
|
4.242
|
19.233,88
|
4,53
|
11
|
Gunuang Omeh
|
1.945
|
8.709,69
|
4,48
|
12
|
Kapur IX
|
780
|
3.418,18
|
4,38
|
13
|
Pangkalan Koto
Baru
|
1.036
|
4.288,71
|
4,14
|
(Sumber: BPS, 2011)
2.5.Penelitian
Sebelumnya Terkait Metode SRI
Menurut hasil penelitian dari Indria Ukrita, Feri
Musharyadi, dan Silfia tentang analisa perilaku petani dalam penerapan
penanaman padi metode SRI yang telah dilakukan pada Kelompok Tani Sawah Bandang
di Kanagarian Koto Tuo Kecamatan Harau menyimpulkan bahwa petani pada daerah
ini sudah mengenal metoda SRI ini sejak tahun 2006 dan melaksanakannya pada
tahun 2007. Pelaksanaan pengenalan
metoda SRI di daerah ini hanya satu kali tanam, setelah itu petani kembali ke sistem
konvensional.
Alasan petani untuk kembali pada sistem konvensional
dikarenakan alasan budaya dan psikis, petani merasa sudah kebiasaan dan merasa
fasih dan tak mengalami kesulitan berbudidaya padi dengan sistem konvensional.
III.
METODE
PELAKSANAAN
3.1.Lokasi
Penelitian
Penelitian Keberlanjutan dan Masalah yang Dihadapi
Masyarakat Petani dalam Menerapkan Metode SRI ini dilakukan di Kecamatan Harau Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatra Barat. Pemilihan lokasi ini dengan
pertimbangan bahwa di Kecamatan Harau telah banyak dilakukan penyuluhan tentang
metode SRI dan pertimbangan Kecamatan Harau dekat dengan peneliti mengingat
waktu penelitian yang singkat. Penelitian ini dilakukan pada
bulan Oktober
2012 sampai dengan November 2012.
3.2.Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan pada penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder. Pada penelitian ini data
primer yaitu data yang bersumber langsung dari petani dilapangan dan dari kerja
sama dengan Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) di Kecamatan Harau Kabupaten
Limapuluh Kota, Sumatra Barat. Data
primer meliputi hasil wawancara dengan petani dan PPL.
Data sekunder yaitu data yang
diperoleh dari hasil penelusuran ke kantor Badan Pusat Statistik (BPS) di kecamatan
Harau, data dari kantor BP4K, studi kepustakaan, jurnal, tulisan ilmiah,
laporan penelitian dan internet yang
berkaitan dengan masalah penelitian.
Data sekunder ini bisa berupa data jumlah petani yang pernah menggunakan
metode SRI, profil dan kondisi kecamatan Harau.
3.3.Metode Pengambilan Sampel
Sampel yang digunakan pada
penelitian ini adalah petani yang sudah pernah berbudidaya tanaman padi dengan
menerapkan metode SRI, daftar nama petani ini nantinya akan diambil dari data
PPL. Pemilihan sampel dilakukan secara
acak sederhana (random sampling) dari
daftar petani yang telah dipersiapkan sebelumnya. Sampel petani yang diperlukan yaitu sebesar
35% dari total jumlah petani pada masing-masing daerah yang dijadikan sampel di
Kecamatan Harau.
Selain kepada petani,
pengambilan data yang berupa informasi penting mengenai penelitian ini juga
akan diambil dari PPL, pengambilan data
dari PPL ini disebabkan karena PPL
banyak tahu masalah yang terjadi di lapangan dan lebih dekat dengan
petani.
3.4.Metode Pengumpulan Data
Data primer akan diambil
dengan metode wawancara langsung ke petani responden. Responden yang telah
ditentukan sebelumnya akan diwawancarai mengenai topik penelitian dengan
mengajukan pertanyaan dari daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya
dalam bentuk kuisoner. Selain dari petani
responden, data primer juga akan diambil dari sampel PPL yang ada.
Untuk data sekunder,
pengumpulan datanya dilakukan dengan cara studi kepustakaan (Library Research), jurnal, laporan penelitian
dan internet. Data sekunder yang diambil ini adalah data
yang berkaitan dengan penelitian.
3.5.Model Analisis
Pada penelitian ini analisis
data yang dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk mengetahui
masalah yang menjadi masalah bagi petani dalam menerapkan metode SRI di
Kecamatan Harau Kabupaten Limapuluh Kota. Sedangkan Analisis kuantitatif
digunakan analisis regresi untuk mengetahui variable (masalah) yang paling mempengaruhi
petani yang dalam menerapkan metode SRI
3.6.Defenisi Operasional
Untuk menghindari ketidaksamaan
pandangan dan pengertian dalam pelaksanaan penelitian ini maka terdapat
beberapa hal yang diaggap penting untuk diberi batasan. Batasan-batasan tersebut meliputi:
- Petani adalah petani yang sudah pernah atau sedang melaksanakan budidaya padi dengan menerapkan metode SRI, satuannya orang.
- Konvensional adalah suatu sistem pada budidaya sawah yang pada umumnya dilakukan oleh petani.
- Tenaga kerja adalah orang diperkerjakan dalam berbudidaya padi.
- Produksi adalah hasil padi yang didapatkan setelah panen dilaksanakan, satuannya kilogram.
- Sawah adalah lahan yang digunakan petani untuk berbudidaya tanaman padi, satuannya m2.
- Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) adalah orang yang melakukan penyuluhan langsung kelapangan dibidang pertanian, satuannya orang.
3.7.Pengolahan Data
Data yang akan diolah terbagi menjadi dua, yaitu data kuantitatif dan data
kualitatif. Data kuantitatif yang berupa
informasi masalah yang dihadapi petani dalam penerapan metode SRI akan di buat
tabulasinya dan akan dijelaskan sehingga
bisa menjadi sebuah informasi.
Data kualitatif yaitu data yang
menjadi variable dalam penelitian ini meliputi sulitnya cara tanam satu batang per lobang tanam, tingginya frekuensi
dan jumlah tenaga kerja yang terpakai, pengaturan air yang tidak pasti, sikap
dimana takut tidak berhasil dalam proses sehingga takut rugi.
Data kuantitatif ini diolah dengan beberapa tahap meliputi tahap
pengeditan, pengolahan selanjutnya disusun dalam bentuk tabulasi untuk kemudian
dilakukan analisis regresi linear berganda untuk mengetahu variable mana yang
lebih berpengaruh terhadap petani.
Pengolahan data ini dilakukan dengan menggunakan program Microsoft Exel dan SPSS 11.5 for Windows.
3.8. Tahapan Pelaksanaan Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini melalui beberapa tahap kegiatan seperti skema/alur penelitian
berikut:
DAFTAR PUSTAKA
Anugrah, I. S., I. P.
Wardana dan Sumedi. 2008. Gagasan dan Implementasi Sistem of Rice Intensification (SRI) dalam Kegiatan Budidaya Padi Ekologis
(BPE). http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/ pdffiles/ A RT6-1c.pdf.
[22/07/2012].
BPS, 2011. Kabupaten Limapuluh
Kota dalam angka 2011. 388 hal.
Departemen
Pertanian. 1998. Kebijaksanaan
peningkatan produksi padi nasional. Seminar Nasional Peningkatan Produksi Padi
Nasional melalui Sistem Tabela Padi Sawah dan Pemanfaatan Lahan Kurang
Produktif. Bandar Lampung, 9-10 Desember 1998. 17 p.
Departemen Pertanian. 2009.
Pedoman Teknis Pengembangan Sistem of Rice Intensification (SRI). http:
// pla. deptan. go. id / pdf / 03 PEDOMAN TEKNIS SRI 2009. pdf. [16/07/2012].
Dinas Pertanian dan
Kehutanan Kabupaten Bantul, 2007.
Budidaya Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen
Pertanian.
Hasan, M and S. Sato. 2007.
Water Saving for Paddy Cultivation Under the Sistem of Rice Intensification (SRI) in Eastern Indonesia. J. Tanah
dan Lingkungan Vol. 9 No. 2 : hal. 57-62.
Mugnisjah dan A.
Setiawan. 2001. Syarat tumbuh tanaman padi. Penebar Swadaya. Jakarta.
Pemkab Limapuluh
Kota, 2012. Kecamatan Harau. http://www. limapuluhkota.go .id /index.php?mod=content&act=static&id=7&menu_id=23. Upload 2 Oktober 2012 19:30.
Suparyono dan A. Setyono. 1993. Padi. Penebar Swadaya. Jakarta. 118 Hal.
Suiatna, R.U.
2010. Bertani padi organik pola tanam SRI
Penerbit Padi. Bandung.
Sutaryat, A. 2008. Sistem
Pengelolaan Pertanian Ramah Lingkungan dengan Metode Sistem of Rice Intensification (SRI). http: // www. diperta.
Jabarprov. go.id/data/arsip/TANTANGAN % 20 DAN %20PELUANG% 20SRI pdf.
[16/07/2012].
Suryanata, Z. D. 2007.
Pengembangan Sistem of Rice
Intensification, Sistem
Budidaya Padi Hemat Air Irigasi dengan Hasil Tinggi. Prosiding Kongres IX
Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI). Bandung, 15-17 November 2007.
Uphoff, N and E. Fernandes.
2003. Sistem Intensifikasi Padi Tersebar Pesat. Terjemahan : Salam.
http://www.leisa.info/index.php?url=getblob.php&o id=67237&a_id=211&a_seq=0.
[15/06/2012].
VECO Indonesia. 2007.
Menembus batas kebuntuan produksi padi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar